7 PONDASI AWAL UNTUK MEMBANGUN EKOSISTEM STARTUP DI INDONESIA



Andi S. Boediman adalah Managing Partner Ideosource Venture Capital. Artikel ini diterbitkan ulang dari website Medium dengan izin Andi. Jakarta CC Sebelum saya menjelaskan tujuh pondasi ekosistem startup Indonesia yang perlu kita kembangkan, izinkan saya menjelaskan di mana posisi industri teknologi Indonesia saat ini jika dibandingkan dengan tetangga-tetangganya. Akhir tahun lalu, saya diundang ke Korea Selatan sebagai bagian dari Dreamplus Alliance. Diprakarsai oleh Korean Hanwha Group, ini adalah persekutuan antara 11 akselerator dari negara berbeda di Asia untuk mempromosikan ekosistem startup. Ide mendirikan persekutuan global akselerator kunci per regional ini adalah untuk membantu startup yang menjanjikan agar mampu meraih mimpi mereka dalam tingkat global. Setelah mempelajari kematangan dari setiap ekosistem, saya melihat perbedaan antara ekosistem teknologi dan kematangan pasar masing-masing negara. 1. Negara teknologi yang terisolasi China dan India sudah jelas merupakan ekosistem yang matang dengan sendirinya. Mereka memiliki teknologi, pendanaan, dan pasar yang besar. Sebagian besar pemain China dan India yang masuk ke Indonesia merupakan pemenang di negara masing-masing. Mereka bisa saja sudah sangat besar dan masuk ke pasar Indonesia sebagai diri mereka sendiri atau mereka akan bekerja sama dengan perusahaan lokal di Indonesia. Perusahaan teknologi Amerika Serikat seperti Google, Facebook, dan Twitter juga melakukan hal ini di Indonesia. 2. Negara teknologi maju dengan pasar yang terbatas Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan adalah negara teknologi maju dengan pasar yang matang, namun memiliki ukuran yang terbatas. Mereka memiliki teknologi yang kita perlukan – dan mereka memerlukan pasar Indonesia untuk terus berkembang. Mereka adalah mitra alami Indonesia; kita bisa memperoleh teknologi yang memimpin di negara ini dan melokalisasinya untuk Indonesia. Beberapa perusahaan besar akan masuk ke Indonesia dengan sendirinya. Sebuah cara yang baik adalah dengan membeli lisensi IP, pengetahuan, dan teknologi. Model terbaik adalah melakukan sebuah persekutuan yang saling menguntungkan dalam bentuk kerjasama yang mana masing-masing pihak akan memberikan nilai tersendiri. 3. Negara teknologi maju dengan pasar yang kecil Singapura adalah sebuah negara dengan teknologi yang sangat maju namun tidak mempunyai pasar, sehingga perusahaan negara tersebut harus berpikir secara global sejak awal. Kebanyakan startup teknologi singapura akan menghadapi tantangan besar ketika memasuki Indonesia karena ada kesenjangan yang cukup besar dari sisi teknologi dan kesiapan pasar. Pemerintah Singapura telah menjadi pendukung kuat dari ekosistem startup, mulai dari menyediakan lingkungan yang kondusif dan berbagai skema pendanaan, hingga menyediakan akses untuk memasuki pasar Amerika Serikat dengan membuka sebuah kantor di Negeri Paman Sam tersebut. Hal ini menjadikan Singapura sebagai akses regional/global dan hub pendanaan startup di wilayahnya, namun bukan untuk pasar yang nyata dan bertumbuh. 4. Negara teknologi berkembang dengan pasar yang terbatas Thailand dan Filipina cukup mirip dengan Indonesia. Vietnam sedikit di belakang Indonesia, sementara Malaysia sedikit di depan Indonesia dalam hal teknologi dan kematangan pasar. Teknologi dan solusi apapun yang berhasil di masing-masing negara dapat ditiru di negara lainnya. Ini sudah menjadi model bisnis bagi beberapa pemain regional, termasuk startup logistik retail online, aCommerce (yang diinvestasi oleh Ideosource). Sehingga, kolaborasi antara Indonesia dan negara dengan teknologi berkembang tersebut adalah saling membuka pasar masing-masing untuk para startup agar saling memperkuat diri dan menjadi pemain regional. 5. Indonesia adalah negara teknologi berkembang dengan pasar yang besar Indonesia memiliki pasar yang besar sehingga startup lokal dapat bertahan dan berkembang dengan hanya menargetkan pasar tanah air. Dengan lebih dari 250 juta penduduk, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara ketiga terbesar dengan populasi terbanyak setelah India dan China dalam jangka waktu 20 tahun ke depan. Pendapatan per kapita negara kepulauan ini adalah sebesar USD 3.500 (Rp 45 juta) – yang berada di tengah-tengah China dan India – namun tumbuh dengan rasio dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Pemerintahan baru Indonesia mempunyai target menaikkan pendapatan nasional tersebut sebesar lima hingga tujuh persen dengan mengundang investasi asing untuk infrastruktur dan pembangunan industri baru. Saya percaya Indonesia dapat menjadi negara startup selanjutnya jika kita mampu meletakkan pondasi dengan baik di dalam industri ini. Mari kita lihat lebih dekat kondisi Indonesia saat ini dan bagaimana kita bisa berkontribusi untuk membuat hal tersebut terjadi. Pondasi 1: Entrepreneur, diaspora, dan imigran Generasi pertama entrepreneur internet di Indonesia kebanyakan mampu meraih kesuksesan karena kemampuan dan keuletan mereka. Generasi kedua entrepreneur internet kebanyakan mengenyam pendidikan dan memiliki pengalaman bekerja pada perusahaan teknologi mumpuni di luar negeri. Kategori ketiga datang dari para eksekutif yang bekerja pada perusahaan web global/multi-nasional di Asia atau di Indonesia. Mereka memiliki latar belakang multi-etnis dan kebanyakan dari mereka memiliki pengalaman konsultasi investasi bank/manajemen. Penyebaran ide dan pengetahuan datang dari diaspora dan orang-orang yang saling terhubung. Kebanyakan pemikir pintar menempuh pendidikan di universitas barat dan bekerja pada perusahaan global/multi-nasional. Ketika mereka berhenti dari pekerjaan mereka dan pulang ke tanah air, mereka membawa serta pengetahuan dan juga kontak yang mereka miliki. Mereka memulai perusahaan baru dan menciptakan sebuah jaringan yang saling terhubung secara dekat. Akselerator global dan VC telah melihat hal ini dan secara aktif melakukan investasi pada founder-founder tersebut. Membawa diaspora pulang ke tanah air dan mendorong mereka untuk memulai sebuah perusahaan di Indonesia akan menginspirasi perpindahan pengetahuan dan teknologi. Dengan pertumbuhan industri digital Indonesia, ada kebutuhan besar untuk memperoleh bakat terbaik bukan hanya dari Indonesia, namun juga dari negara lainnya. Dengan menarik imigran yang mempunyai kemampuan cemerlang, mereka bisa membawa pengetahuan baru dan menciptakan pekerjaan di dalam ranah ekonomi lokal. Bisnis barulah yang akan menciptakan pekerjaan baru, dan ada beberapa kebijakan yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. William Tanuwijaya dari Tokopedia mempunyai rencana untuk merekrut banyak sekali developer dari India, Vietnam, dan China agar tidak tertinggal dengan pertumbuhan toko online dan memperoleh pengetahuan secara lebih cepat dari bakat global. Negara yang menyambut entrepreneur Di beberapa negara yang telah maju, ada ketertarikan dalam merekrut imigran yang mempunyai kemampuan cemerlang dan dapat membawa pengetahuan baru serta menciptakan pekerjaan di dalam ranah ekonomi lokal. Sumber gambar: Migreat, dari laman Wikipedia startup visa. Untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara entrepreneur dan inovatif, pembuat kebijakan harus mengambil langkah untuk menarik lebih banyak entrepreneur asing dan bakat global yang mempunyai kemampuan tinggi ke Indonesia. Ini bukan tentang membuka pasar Indonesia untuk pemain global, namun mengundang para entrepreneur untuk menggunakan Indonesia sebagai pijakan untuk melayani pasar global. Bali adalah ranah startup baru yang mengejutkan banyak orang. Jika seluruh daerah di negara ini mampu merangkul bakat internasional seperti yang Bali lakukan, kita mungkin bisa mengulang cerita Walter Spies, Antonio Blanco, dan John Hardy dari dunia seni. Cara tercepat untuk meraih pasar internasional adalah dengan cara mengundang mereka yang mengerti pasar tersebut. Bandung dan Yogyakarta telah menjadi rumah bagi beberapa komunitas developer, dan secara alami beberapa perusahaan internasional sudah membuat tim produksi di kota-kota ini. Hal ini akan mendorong lebih kuat perpindahan pengetahuan kepada para bakat lokal. Pondasi 2: Pendidikan internasional dan pelatihan kejuruan 2,6 juta penduduk Indonesia diperkirakan akan memasuki tahap pendidikan lebih tinggi dalam dekade selanjutnya dikarenakan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan politik, dan peningkatan tingkat pendidikan negara kepulauan ini. Namun, hanya ada 36.000 siswa yang saat ini belajar di luar negeri – itu hanya satu persen dari total jumlah siswa di Indonesia. Kebutuhan internasionalisasi ini sangatlah penting agar banyak penduduk Indonesia yang dilengkapi dengan perspektif lebih luas serta mindset yang lebih mendunia. Australia dan Amerika Serikat adalah tujuan belajar paling populer untuk orang Indonesia. Namun kontribusi yang lebih nyata bagi ekonomi Indonesia dapat terjadi ketika kita mampu menarik kembali bakat-bakat tersebut. Ada sebuah contoh teladan. Pemerintahan China menjalankan program “Thousand Foreign Experts” yang dirancang untuk menarik akademika dan entrepreneur luar negeri dalam 10 tahun ke depan untuk meningkatkan penelitian dan inovasi. Dalam program ini, kandidat yang sukses akan memperoleh subsidi dan uang penelitian. Program ini sudah terbukti mampu membawa kembali bakat terbaik ke China. Sementara di Indonesia, jumlah siswa internasional yang belajar di negara kepulauan ini hanya sekitar 3.000 siswa. Internasionalisasi pembelajaran tingkat tinggi di Indonesia akan menghasilkan peningkatan arus ide, sikap, nilai, teknologi, ekonomi, dan orang-orang dari berbagai negara – semuanya adalah aspek yang dibutuhkan untuk globalisasi. Cara tercepat untuk menarik siswa internasional dan membawa standar pendidikan lebih tinggi ini adalah dengan bekerjasama dengan universitas yang telah mapan di Australia dan Amerika Serikat, seperti yang telah dilakukan oleh Singapura, Malaysia, dan banyak negara lainnya. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk internasionalisasi tingkat pendidikan tinggi, penelitian, dan inovasi di Indonesia. Pasar tenaga kerja di Indonesia ditandai dengan level tinggi pengangguran usia muda karena pendidikan dan pelatihan kejuruan negara ini tidak sesuai dengan persyaratan dunia kerja. Sebuah ide dikemukakan oleh Andrias Ekoyuono, VP of business development Ideosource, bahwa dengan tenaga kerja yang ekstensif, Indonesia dapat menjadi penyedia layanan BPO (business process outsourcing) dan KPO (knowledge process outsourcing) setelah India dan Filipina. Pekerjaan yang biasanya di-outsource adalah data entry, transkrip medis, penulisan konten, software programming, atau HR dan layanan keuangan. KPO mempunyai fokus pada aktivitas seputar pengetahuan dan informasi termasuk layanan hukum, properti hak cipta dan layanan seputar hak paten, layanan seputar teknik, pengembangan web, aplikasi CAD/CAM, analisa dan penelitian bisnis, penelitian hukum, penelitian klinis, penerbitan, dan penelitian pasar. Untuk membantu mencapai hal ini, pemerintah harus berkomitmen pada pendidikan kejuruan. Nilai kredit dari pelatihan terbuka harus boleh ditransfer ke universitas, sehingga menawarkan lulusan kesempatan untuk meningkatkan pendidikan kejuruan yang mereka miliki dalam taraf yang lebih tinggi. Indonesia harus mengirim tenaga kerja paling mampu ke pasar global dengan berfokus pada pendidikan kejuruan dan teknis. Pondasi 3: Mendanai ekosistem startup Secara alamiah, startup memiliki “angka kematian” yang sangat tinggi – mereka masih menjelajahi penawaran dan bisnis model yang dimiliki. Kebanyakan startup gagal. Itulah mengapa hibah dan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan model terbaik dalam tahap inkubasi. Biaya memberikan investasi, menginkubasi perusahaan, dan menjelajahi sisi lain dari traksi awal lebih besar daripada potensi pengembalian modal. Program inkubasi sangat berisiko dan kebanyakan tidak akan memberikan return of investment yang bagus, jadi pendanaan CSR dari berbagai perusahaan swasta atau BUMN sangatlah baik untuk digunakan sebagai program inkubasi. Venture capital yang berinvestasi secara alami juga merupakan sebuah risiko tersendiri. Semakin tinggi risikonya, semakin tinggi imbalannya. Beberapa risiko termasuk rasio kegagalan tinggi karena para entrepreneur yang kekurangan pengalaman, masuk ke dalam pasar terlalu dini, menciptakan sebuah penawaran yang tidak dapat berkembang, dan exit terbatas bagi investasi. Kami sudah melihat hal ini sejak awal gelombang dot-com pada awal tahun 2000an. Kerjasama antara pemerintah dan perusahaan venture capital swasta telah diadopsi oleh beberapa negara seperti Singapura dan Taiwan. Menkominfo Rudiantara mengikuti model ini dan ingin mengumpulkan dana sebesar USD 1 miliar (Rp 12 triliun) untuk membantu mengembangkan startup digital di Indonesia. Uang tersebut akan datang dari sektor swasta. Memang menjadi sebuah kabar gembira jika pemerintah mencoba mendukung industri teknologi, namun apakah kita membutuhkan peran serta pemerintah? Hal ini juga menimbulkan banyak pertanyaan. Siapa yang akan bertanggung jawab ketika investasi tersebut gagal? Akankah VC yang ditunjuk disalahkan? Akankah menjadi investigasi KPK? Jika ada banyak uang dari pemerintah, bukankah akan muncul lonjakan institusi oportunis yang bersaing mendapatkan dana ini tanpa rekam jejak yang jelas? Yang kita butuhkan adalah kebijakan pendanaan yang lebih terbuka, bukan pendanaan itu sendiri. Pendanaan USD 100 juta (Rp 1,2 triliun) yang diterima Tokopedia bulan Oktober tahun lalu merupakan sebuah berita besar. Hal ini menimbulkan lingkungan pendanaan yang positif di Indonesia. Melihat ke dalam pertumbuhan pasar dan momentum pendanaan, kita akan melihat pendanaan senilai miliaran dollar dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Pendanaan asing langsung dari INVESTORKorea dan Jepang sudah ada di Indonesia sejak 2011. Investasi terbaru pun dilakukan oleh raksasa China. Pemain global seperti Rocket Internet dan Nasper sudah aktif berinvestasi sejak 2012. Dana yang ditujukan untuk Asia Tenggara kini mulai difokuskan ke Singapura dan Indonesia sebagai sasaran investasi utama. Dana yang ada sudah cukup untuk industri teknologi dan tren yang ada tumbuh dalam kecepatan tinggi bahkan tanpa dukungan pemerintah. Konglomerat Indonesia pun sudah berinvestasi di ranah digital. Djarum sudah melakukannya melalui GDP Ventures dan Merah Putih Incubator; Kompas Gramedia melalui pendanaan langsung dan Skystar Capital; Bakrie melalui pendanaan langsung dan venture capital; Salim bekerjasama dengan Rocket Internet melalui PLDT; Sinar Mas melalui venture capital sendiri dan Ardent; Emtek kebanyakan melalui pendanaan langsung; Lippo melalui venture capital mereka sendiri dan pendanaan langsung. Ditambah lagi, Ciputra Group menyediakan dukungan bagi entrepreneur melalui program GEPI. Sebagian besar perusahaan telekomunikasi Indonesia juga sudah melakukan investasi yang lumayan besar dalam ranah digital. Dengan dukungan dari investor lokal, Ideosource percaya untuk berinvestasi di perusahaan internet terbaik dan founder terpintar. Kami sudah berinvestasi di banyak perusahaan Indonesia, seperti Touchten, Saqina, Orori, dan Female Daily. Selain e-commerce dan media digital, Ideosource berkomitmen untuk berinvestasi pada startup yang disruptif dan inovatif seperti fintech dan internet of things. Pondasi 4: Perizinan usaha dan regulasi Indonesia menjadi terkenal – secara negatif – karena birokrasi yang “tidak ramah” ketika memproses izin usaha dan regulasi yang menyulitkan pendanaan langsung dari luar negeri. Presiden sudah berjanji bahwa hal ini adalah masa lalu dan telah meluncurkan sebuah layanan terpadu bagi investasi langsung dari luar negeri. Namun, Indonesia masih harus meningkatkan banyak hal ketika berbicara mengenai kemudahan melakukan bisnis. Namun Presiden dan kabinetnya tampak sangat rentan terhadap kontroversi. Media Indonesia baru-baru ini melaporkan bahwa pemerintah akan melindungi bisnis online lokal dari akuisisi asing, yang ternyata merupakan berita tidak benar. Saya sangat merekomendasikan pemerintah untuk memperbaiki public relation mereka agar dapat membantu strategi komunikasi dan menyampaikan pesan yang konsisten supaya menghindari kebingungan antar pemilik bisnis. Ketika berbicara mengenai startup, kita membutuhkan perubahan dalam regulasi yang ada ketika menerima investasi asing. Regulasi yang ada perlu lebih terbuka jika kita ingin mengembangkan budaya inovasi. Untuk mendukung sebuah lingkungan dan regulasi yang bersahabat terhadap investasi, rekan saya di Ideosource, Edward Ismawan Chamdani, mengemukakan pendapat bahwa pemerintah perlu menyediakan insentif bagi investor, seperti pembebasan pajak capital gain, hukum yang lebih ramah yang mengizinkan tingkatan saham berbeda untuk melindungi investor, dan berbagai program finansial/pajak/hukum lainnya untuk memberi insentif bagi para investor agar mereka menyalurkan dana dan investasi di Indonesia alih-alih luar negeri. Ditambah lagi, ada beberapa kontroversi dalam hal regulasi di ranah e-commerce dalam bentuk “Daftar Negatif Investasi”. Daftar ini berisi sektor mana saja dalam ekonomi Indonesia yang tidak boleh dijamah atau terbatas bagi investasi asing. Saat ini pemerintah Indonesia sudah menutup investasi asing dalam bisnis yang secara langsung menjual pada konsumen. William Tanuwijaya, CEO Tokopedia, berharap agar pemerintah dapat menyediakan sebuah ekosistem kondusif alih-alih berfokus pada mengadukan investor lokal dan asing. Pondasi 5: Infrastruktur fisik dan digital Bisnis broadband Indonesia meningkat ganda karena adopsi internet yang tinggi. Akan tetapi, penetrasi internet masih tetap lambat, dengan hanya 20 persen populasi yang online, jika dibandingkan dengan 40 persen di Thailand dan 90 persen di Singapura. Ini merupakan pekerjaan rumah terbesar bagi pemerintah jika mereka memang serius ingin membangun ekosistem web dan teknologi. Indonesia menghabiskan satu persen pendapatan nasional untuk infrastruktur pada tahun 2009, bandingkan dengan nilai yang lebih besar dari negara tetangga China (8 persen), Korea Selatan (2,5 persen), dan antara 3-6 persen untuk negara seperti Singapura dan Malaysia. rencana infrastruktur baru Indonesia Sumber gambar: PwC (link PDF) Presiden Indonesia menyampaikan presentasi tentang berinvestasi di Indonesia di depan para pemimpin global di APEC Summit. Dalam agenda yang dikemukakan, ada program pembangunan jalan tol yang melewati lautan, sebuah program untuk memutakhirkan 13 pelabuhan utama yang dapat menurunkan biaya logistik negara kepulauan ini sebanyak 10 hingga 15 persen. Saat ini, antara 18 hingga 22 persen biaya produksi perusahaan di Indonesia berasal dari logistik, khususnya karena mahalnya biaya transportasi antar pulau negara ini. Di Asia Tenggara, angka ini di bawah 10 persen. Antara tahun 2014 dan 2017, akan ada tambahan delapan pelabuhan, dua bandara, delapan jalur kereta api, lima pembangkit listrik, dan 11 persediaan air dan tempat pengolahan limbah. Dengan membangun proyek infrastruktur ini, Indonesia akan meningkatkan kualitas akses dan distribusi yang dimiliki. Pondasi 6: Infrastruktur dan adopsi e-money Indonesia memiliki tingkat adopsi dan infrastruktur uang digital yang rendah. World Bank Global Financial Index of 2011 menyebutkan bahwa hanya 19,6 persen populasi orang dewasa di Indonesia mempunyai rekening dalam sektor finansial resmi. Pada tahun 2014, jumlah pengguna kartu kredit di Indonesia berada di angka sekitar 8 juta pengguna dengan jumlah 15,8 juta kartu. Hal ini masih merupakan sebuah tantangan besar bagi adopsi digital. Sektor smartphone yang berkembang di Indonesia menjadikan mobile sebagai infrastruktur perbankan alternatif yang mampu memberikan layanan keuangan mudah diakses, sederhana, dan terjangkau bahkan dalam area terpencil. Namun perusahaan telekomunikasi mobile belum bisa diandalkan untuk menyediakan layanan keuangan dikarenakan mempunyai sejarah menyalahgunakan biaya layanan konten mobile. Dan karena perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki ATM, solusi e-wallet yang ditawarkan oleh perusahaan telekomunikasi tidak akan mudah untuk diuangkan. Dari sekian banyak solusi yang ditawarkan di Indonesia, Mandiri E-Cash terlihat sebagai solusi paling disruptif dalam hal uang digital. Mandiri E-Cash adalah sebuah sistem debit yang terhubung dengan nomor handphone alih-alih akun bank. Pengguna melakukan deposit uang di agen e-cash yang biasanya toko atau kios, atau dengan melakukan transfer antar rekening. Dana tersebut dapat digunakan untuk transfer dan pembayaran, setelah melakukan otentikasi melalui handphone. Bahkan tanpa membuka akun di bank, Anda dapat menarik uang dari ATM Mandiri. Adopsi dalam cakupan yang luas masih menjadi tantangan terbesar bagi e-money. Penggerak utama untuk adopsi e-money datang dari sumber yang tidak disangka-sangka: pemerintah Indonesia. Setelah memberhentikan subsidi bahan bakar, pemerintah memberikan subsidi uang tunai langsung kepada masyarakat yang tidak mampu. Program ini dinamakan BLNT (bantuan langsung non tunai). BLNT dibagikan melalui uang elektronik agar mengurangi biaya distribusi. Dengan menargetkan 15 juta orang tidak mampu pada akhir tahun 2015, Indonesia akan menjadi negara kedua terbesar di dunia dalam hal penggunaan uang mobile setelah Kenya. Dengan adopsi lebih luas dari uang digital, hal ini memberi masyarakat sebuah keuntungan langsung untuk menghubungkan solusi ini dengan ekosistem pembayaran digital lain termasuk pengiriman uang, e-commerce, dan banyak hal lainnya. Kita bisa menandai hal ini sebagai awal bagi Indonesia menjadi masyarakat tanpa uang tunai. Pondasi 7: Nasionalisme Indonesia Peng T. Ong, managing director Monk’s Hill Venture dan co-founder Match.com, menyinggung dalam diskusi inspiratif mengenai semangat nasionalisme yang tumbuh di Indonesia. Kita melihat semangat nasionalisme dengan cara peduli dengan diri sendiri, masa depan kita, dan negara kita. Kita melihat sebuah generasi pemimpin baru yang muncul, membuat orang percaya lagi terhadap pemerintah dan bagaimana hal tersebut dapat membawa hal terbaik bagi orang-orang dan bangsa. Ketika semua orang percaya pada satu hal, hal hebat akan terjadi. Kita akan melihat Indonesia berkembang dan menjadi negara yang hebat. Sebuah negara startup baru.

Sumber : 
http://id.techinasia.com/pondasi-awal-ekosistem-startup-indonesia/

0 komentar: