ASAL
MULA MANUSIA PURBA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penemuan - penemuan fosil di dunia banyak disumbang oleh
Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan wilayah tropis dan mempunyai
iklim yang cocok di huni manusia kala itu. Penemuan –penemuan fosil sangat
berguna bagi perkembangan ilmu sejarah sekarang ini. Baik dalam hal menjelaskan
kehidupan manusia kala itu,. Hewan yang pernah hidup dan bagaimana evolusi
manusia hingga menjadi sekarang ini. Indonesia banyak menyumbang fosil manusia
–manusia purba. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan perkembangan
manusia purba dari mulai bagaimana menemukannya,cirri-ciri dari manusia purba
dan tempat ditemukanya,sampai evolusi manusia mulai dari pertama kali muncul
hingga menjadi manusia sekarang ini.
Dilihat dari hasil penemuan di Indonesia maka dapat
dipastikan Indonesia mempunyai banyak sejarah peradapan manusia mulai saat
manusia hidup. Dengan begitu ilmu sejarah akan terus berkembang sejalan dengan
fosil- fosil yang ditemukan. Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih jelas
dan terperinci mengenai fosil- fosil manusia purba yang ditemuakan di
Indonesia. Penemuan –penemuan terbaru juga termasuk di dalamnya. Hal ini
bermanfaat untuk mengetahui perkembangan fosil terbaru yang ditemukan seperti
Homo Moernman. Dijelaskan pula tempat penemuan dan bentuk penemuannya agar isi
makalah ini dapat dipercaya kebenaranya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Fosil Manusia Purba di
Indonesia
Penemuan manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi /
penggalian di tempat-tempat yang diyakini terdapat fosil-fosil manusia purba.
penggalian dilakukan dengan teknik arkeologi agar fosi tidak mengalami
kerusakan. setelah digali, maka fosil akan dibersihkan dengan bahan-bahan kimia
tertentu, agar unsur-unsurnya tdk mengalami kerusakan. Langkah selanjutnya
adalah merekonstruksi / menyusun lagi fosil-fosil seprti pada saat ditemukan.
Penelitian ilmiah mengenai fosil dimulai pada akhir abad
ke-19. Penelitian Paleoantropologi manusia purba di Indonesia dapat dibagi
menjadi tiga tahapan, yaitu 1889-1909, 1931-1941, dan 1952 hingga sekarang.
Eugone Dubois menduga bahwa manusia purba pasti hidup di
daerah tropis. Menurutnya, hal ini disebabkan perubahan iklim sepanjang sejarah
tidak banyak dan di daerah tropis pula monyet serta kera masih banyak yang
hidup. Ketika datang ke Indonesia, Eugone Dubois mulai menyelidiki gua-gua di
Sumatera Barat. Namun, hanya tulang-tulang subresen yang ditemukan.
Penemuan Eugena Dubois : Dia adalah yang pertama kali
tertarik meneliti manusia purba di Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah
tengkorak dari B.D Von Reitschoten yang menemukan tengkorak di Wajak, Tulung
Agung.yang menyebabkan Dubois memindahkan kegiatan penelitiannya ke daerah
Jawa. Fosil kiriman itu dinamai Homo
Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir
maju). homo sapiens dengan isi volum otak kira-kira 1450 cm kubik hidup sekitar
15.000 hingga 150.000 tahun yang lalu. Temuan Dubois pertama, 1889, berupa
fosil atap tengkorak Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera, Antropus
Manusia, Erectus berjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan
Solo, dekat Ngawi, , tahun 1891. Volume otak Pithecanthropus erectus
diperkirakan sekitar 770 - 1000 cm kubik. Bagian tulang-belulang fosil manusia
purba yang ditemukan tersebut adalah tulang rahang, beberapa gigi, serta
sebagian tulang tengkorak.Temuan lainnya adalah Pithecanthropus Mojokertensis,
ditemukan di daerah Mojokerto dan Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di
daerah Solo.
Penemuan Selenka dan Tim : Pada 1907-1908, Selenka dan
regunya melakukan penyelidikan dan penggalian di Trinil. Namun, penggalian
tersebut tidak membuahkan hasil fosil manusia purba. Yang ditemukan berupa
fosil hewan dan tumbuhan yang dapat menambah referensi mengenai kehidupan
manusia Pithecanthropus Erectus.
Penemuan Ter Haar dan Tim : Antara 1931-1933, Ter Haar dan
Oppenoorth melakukan pencarian di Ngandong, Blora. Dari hasil pencarian,
didapat penemuan yang sangat penting berupa tengkorak dan tulang kering
Pithecantropus Erectus. Satu seri tulang tengkorak yang besar jumlahnya dalam
masa pendek dan berada di satu tempat yang tidak begitu luas.
Penemuan Tjokrohandojo : Pada 1926, Tjokrohandojo yang
bekerja di bawah pimpinan Duyfjes menemukan fosil manusia purba anak-anak di
daerah Perning, sebelah utara Mojokerto. Penemuan ini adalah pertama kali
ditemukannya fosil tengkorak anak-anak di lapisan bawah Pleistosen Bawah.
Penemuan Von Koenigswald : Antara 1936-1941, Von Koenigswald
menemukan fosil-fosil rahang, gigi, dan tengkorak Homo Erectus dan Meganthropus
Paleojavanicus juga fosil hewan di daerah Sangiran, Surakarta. Penemuan ini
terjadi di lapisan Pleistosen Tengah maupun Pleistosen Bawah pada satu tempat
dan memperlihatkan adanya variasi morfologis. Perbedaan variasi tersebut,
menurut para ahli, memiliki perbedaan pada tingkat rasial, spesies, maupun
genus. Yaitu, varian-varian yang berasal dari masa lalu. Penemuan lain Fosil tengkorak
di Ngandong, Blora. Tahun 1936, ditemukan tengkorak anak di Perning berusia 5
tahun, Mojokerto. . Homo Sapien Soloensis (Homo Soloensis), ditemukan oleh Von
Koenigswald dan Weidenreich di tempat-tempat antara lain : Ngandong Blora,
Sangiran dan Sampung macan (Sragen), lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 –
1934.
Penemuan lain tentang
manusia Purba ditemukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha
manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung
Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).
Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia
dimulai pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di
daerah Sangiran dan sepanjang aliran Bengawan Solo.
Semua hasil penemuan fosil-fosil manusia purba pada tahap
pertama disimpan di Leiden dan temuan tahap kedua disimpan di Frankfurt (Jerman
Barat). Akibat adanya Perang Dunia II, pencarian Paleontropologi tertunda.
Tahap ketiga baru dimulai setelah Indonesia merdeka dan penemuan yang didapat
disimpan di negara tempat fosil tersebut ditemukan, Indonesia.
B.
Jenis dan Ciri fosil manusia purba
Indonesia dari yang tertua :
Jenis
fosil manusia purba di Indoesia :
Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran).
Pithecanthropus Robustus (Trinil). Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus)
(Trinil). Pithecanthropus Dubius (Jetis). Pithecanthropus Mojokertensis
(Perning). Homo Javanensis (Sambung Macan). Homo Soloensis (Ngandong). Homo
Sapiens Archaic. Homo Sapiens Neandertahlman Asia. Homo Sapiens Wajakensis
(Tulungagung). Homo Modernman.
Ciri-ciri
manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
1.
Ciri Meganthropus :
·
Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang
lalu
·
Badannya tegak
·
Hidup mengumpulkan makanan
·
Makanannya tumbuhan
·
Rahangnya kuat
·
Tulang pipi tebal
·
Terdapat tonjolan kening yang
mencolok
·
Tonjolan belakang yang tajam.
·
Tidak memiliki dagu.
2.
Ciri Pithecanthropus :
·
Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang
lalu
·
Hidup berkelompok
·
Hidungnya lebar dengan tulang pipi
yang kuat dan menonjol
·
Mengumpulkan makanan dan berburu
·
Makanannya daging dan tumbuhan
·
Tinggi badan sekitar 165 -180 cm
·
Volume otak 750- 1350 cc
·
Bentuk tubuh dan anggota badan tegap
·
Alat pengunyah dan alat tengkuk
sangat kuat
·
Bentuk graham besar dengan rahang
yang sangat kuat
·
Bentuk tonjolan kening tebal
·
Bentuk hidung tebal
· Bagian belakang kepala tampak menonjol
3.
Ciri jenis Homo :
·
Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
·
Muka dan hidung lebar
·
Dahi masih menonjol
·
Tarap kehidupannya lebih maju
dibanding manusia sebelumnya
C.
Pembagian Jaman kehidupan Awal
Manusia
Zaman dimana adanya kehidupan manusia sehingga merupakan
zaman terpenting. Dan zaman ini dibagi lagi menjadi dua zaman yaitu yang
disebut dengan zaman Pleistocen dan Holocen atau Alluvium dan Dilluvium adalah
pembagian zaman menurut Ilmu Geologi. Jaman ini terdapat pada Zaman Neozoikum.
Jaman
ini dibagi menjadi jaman tersier dan kuartier.Jaman tersier berlangsung sekitar
60 juta tahun,binatang yang berkembang adalah mamalia/binatang menyusui.Jaman
kuartier adalah yang terpenting karena jaman ini dimulai adanya kehidupan
manusia.Dan jaman kuartier masih dibagi lagi ke dalam jaman Pleistosen dan
Holosen.Jaman Pleistosen(Dilluvium) berlangsung kira-kira 3 juta tahun sampai
10 ribu tahun yang lalu.Jaman Pleistosen dimulai dengan meluasnya lapisan es di
kedua kutub bumi yang disebut jaman glasial,kemudian diselingi dengan jaman
mencairnya lapisan es disebut dengan jaman interglasial,keadaan ini berlangsung
silih berganti sampai empat kali.Kalau di daerah tropis jaman glasial berupa
jaman hujan(jaman pluvial),dan diselingi dengan jaman kering(interpluvial).Pada
jaman glasial,permukaan air laut turun dengan drastis,sehingga banyak dasar
laut yang kering menjadi daratan.Di Indonesia dasar laut yang kering di sebelah
barat disebut dengan dataran Sunda,dan menyebabkan kepulauan Indonesia bagian
barat menjadi satu dengan benua Asia,sedangkan yang di sebelah timur disebut
dengan dataran Sahul,dan menyebabkan kepulauan Indonesia di sebelah timur
menyatu dengan benua Australia.Sehingga ini semua mempengaruhi jenis
flora-faunanya juga.Manusia yang hidup di jaman Pleistosen adalah jenis Homo
erectus.Jaman Pleistosen berakhir kira-kira 10 ribu tahun sebelum
Masehi.Kemudian diikuti datangnya jaman Holosen(Alluvium) yang masih
berlangsung hingga sekarang.Dan jaman ini muncul manusia jenis Homo
sapiens,yang diduga menjadi nenek moyang manusia sekarang.
Pembagian lapisan Dilluvium menurut
V. Koeningswalds ada tiga :
1. Pleistosen Bawah / Lapisan Jetis (
20 juta – 15 juta tahun yang lalu)di lapisan ini ditemukan fosil manusia purba
Meganthropus PaleoJavanicus oleh V.
Koeningswald. Selain itu juga ditemukan fosil Pithecantropus Mojokertensis dan
Pithecantropus Robustus
2. Pleistosen Tengah / Lapisan Trinil (
1,5 juta – 500.000 tahun yang lalu)ditemukan fosil manusia purba
Pithecantropus/Homo Erectus dan Pithecanthropus Robustus.
3. Pleistosen Atas/Lapisan Ngandong ( 100.000 – 50.000 tahun
yang lalu)ditemukan fosil manusia purba Homo Soloensi ( Homo Sapiens Soloensis
) dan Homo Wajakensis ( Homo Sapiens Wajakensis)
D.
Homo Florensiesis, Manusia Purba
Kerdil dari Flores
Rentang fosil : Pleistosen Akhir
Klasifikasi ilmia
Kerajaan : Animalia Filum : Chordata
Kelas : Mammalia Ordo : Primates
Famili : Hominidae Genus : Homo
Spesies : H. floresiensis Nama
binomial : Homo floresiensis
Homo floresiensis (“Manusia Flores“, dijuluki Hobbit) adalah
nama yang diberikan oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang
memiliki tubuh dan volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa
tubuh yang belum sepenuhnya membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di
Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001. Kesembilan sisa-sisa tulang itu
(diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur paling tinggi sepinggang
manusia moderen (sekitar 100 cm).
Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan
Indonesia berargumen menggunakan berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak,
ukuran tulang, kondisi kerangka yang tidak memfosil, serta temuan-temuan sisa
tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya. Usia seri kerangka ini diperkirakan
berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.
1) Penemuan
a.
Liang Bua, tempat ditemukannya seri
fosil H. floresiensis.
Liang Bua, tempat ditemukannya
sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan menjadi tempat ekskavasi
arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak kerangka Homo
sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip gajah Stegodon, biawak,
serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan mereka. Di samping itu
ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta
tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.
Kerja sama penggalian Indonesia-Australia
dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang orang
Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji
Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional (dulu Puslit Arkenas) dan tim
Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England. Pada bulan
September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima meter (ekspedisi
sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip
manusia tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis.
Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil) tetapi rapuh dan lembab. Terdapat
sembilan individu namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan, Liang Bua dipakai
sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan, dilakukan pengeringan dan perekatan
terlebih dahulu.Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan
pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai
(tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya
berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat
diperoleh sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk
dilakukan. Perlu disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia
lapisan tanah bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan
lebih tua daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon
sulit dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu
untuk dilakukan.
2)
Ciri-ciri Kontroversi
Salinan tengkorak H. floresiensis “LB1″ dibandingkan dengan
tengkorak manusia yang terkena mikrosefali yang pernah hidup di Pulau Kreta.
Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia
ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini,
dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil dari
Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang
masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang
menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali (“kepala kecil”).
Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai
Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok
Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu
menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.
Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai
membuat Liang Bua dan beberapa gua di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk
peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat 2007), lokasi penemuan kembali
dapat diakses bagi penelitian.
Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo
floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap
pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa
Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies
yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah
ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan
bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia
modern) maupun manusia Neandertal.
Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa
spesimen LB1 lebih primitif daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi
H. erectus. Publikasi pertama yang dimuat di Anthropological Science
membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik normal maupun patologis) dan
beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H.
floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari H. sapiens
normal maupun patologis karena mikrosefali. Hasil analisis kladistika dan
statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu
LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan
mikrosefali, beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta
tengkorak hominin purba menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki
ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba,
sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance. Meskipun demikian, kedua kajian
ini tidak membandingkan H. floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores
yang menderita mikrosefali.
3) Perbandingan tengkorak Homo Floresiensis dengan Homo Sapiens
Hobbit Flores, Species Baru Hominin. Homo floresiensis,
sering disebut juga dengan hobbit Flores, masih terus berlangsung. Selama ini
ada dua arus pendapat. Pertama, yang menganggap Homo floresiensis sebagai
spesies baru dari hominin, sering disebut Hobbit, pendapat ini dimotori oleh
para peneliti dari Australia, seperti antropolog Peter Brown, Michael Morwood,
dan para koleganya. Pendapat kedua mengatakan, Homo floresiensis bukan
merupakan spesies baru, tetapi merupakan bagian dari spesies manusia modern
dari bangsa Homo erectus yang menderita sindroma kekerdilan dan penyakit
microchepaly, –penyakit yang menyebabkan pengerdilan volume otak dan ukuran
tubuh, pendapat ini dimotori Profesor Teuku Jacob dan para koleganya dari
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dengan menggunakan metode penelitian analisa statistik
terhadap kerangka fosil yang ditemukan, para peneliti meyakini Homo
floresiensis merupakan sebuah spesies baru dari manusia kuno, atau hobbit, yang
bertubuh mini, dan bukan versi manusia modern yang terkena penyakit sehingga
tubuhnya menjadi kerdil dan kemudian diturunkan secara genetis. Sehingga Homo
floresiensis merupakan generasi manusia yang belum sempurna jika dibandingkan
dengan generasi Homo erectus, dan generasi manusia sempurna Homo sapiens yang
kini mendiami bumi. Detail lengkap dari hasil penelitian ini baru akan
dipublikasikan dalam Jurnal Significance, terbitan Royal Statistical Society,
pada edisi bulan Desember mendatang. Fosil Homo florensiensis pertama kali
ditemukan pada tahun 2003 oleh sekelompok peneliti Australia dan Indonesia, di
Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.
Dari hasil rekonstruksi diketahui fosil ini merupakan
kerangka dari manusia yang memiliki tubuh mini, volume otak kecil, dan mirip
dengan hominin, yaitu bangsa manusia kuno. Dari uji karbon terhadap fosil
temuan, spesies ini diperkirakan hidup di Flores sekitar 18.000 tahun yang
lalu. Jika Anda menonton seri film Lord of The Ring, manusia hominin ini
disebut dengan hobbit yang bertubuh kecil. Para peneliti dari Universitas Medis
Stony Brook yang dipimpin William Jungers dan Karen Baad melakukan penelitian
terhadap kerangka fosil Homo floresiensis berjenis kelamin perempuan yang
diberi code LB1 dan diberi nama penelitian ‘Little Lady of Flores’ atau ‘Flo’,
menyimpulkan fosil itu merupakan spesies hasil evolusi hobbit. Penelitian
meliputi fosil bagian tengkorak, rahang, telapak tangan, kaki, dan telapak
kaki, yang dibandingkan dengan ukuran fosil-fosil manusia temuan lainnya. Hasil
penelitian menunjukkan, kapasitas otak LB1 diperkirakan hanya sekitar 400 cm
saja, yang sebanding dengan ukuran otak Simpanse atau Siamang berkaki dua di
Afrika. Ukuran tengkorak dan tulang rahang Homo floresiensis, juga lebih
primitif dari ukuran fosil manusia modern normal yang ditemukan daerah
dimanapun.
Temuan fosil Homo floresiensis relatif lengkap, sehingga
para ilmuwan dapat melakukan rekonstruksi sosoknya, yang dapat dibandingkan
dengan sosok manusia modern. Tulang paha dan tulang betisnya jauh lebih pendek
daripada yang dimiliki manusia modern, bahkan jika dibandingkan dengan temuan
fosil manusia kerdil serupa di Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan manusia
kerdil negritto di Kepulauan Andaman dan Filipina. Sehingga para peneliti
berspekulasi ini merupakan bagian dari sebuah rantai evolusi dari bangsa
hominid, yang menyebar di berbagai lokasi dunia pada masa lalu. “Sulit
dipercaya proses evolusi dipengaruhi juga dengan kemampuan gerak agar lebih
ekonomis, “spesies ini mengembangkan paha dan kaki yang lebih pendek, agar
dapat berjalan kaki lebih baik dan efektif pada waktu itu.”
Analisis statistik dari Jungers dengan persamaan regresi
yang dia kembangkan, menunjukkan rata-rata tinggi Homo floresiensis sekitar 106
cm, jauh lebih pendek dari rata-rata tinggi manusia modern kerdil yang
rata-rata memiliki tinggi 150 cm. Rekonstruksi menunjukkan sosok fisik LB1,
juga jauh berbeda dengan umumnya orang kerdil serupa yang ditemukan di Asia
Tenggara maupun Afrika, baik pada tinggi maupun ukuran tubuh.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN :
Penemuan manusia purba diawali
dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat yang diyakini terdapat
fosil-fosil manusia purba. Di Negara Indonesia sendiri telah banyak ditemuakan
berbagai macam fosil manusia purba seperti di daerah Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Fosil –fosil tersebut terbagi atas tiga jenis yaitu Megantruphus,
pithechantripus, dan Homo dengan berbagai macam subjenis. Di daerah Nusa
Tenggara ditemukan pula jenis baru manusia purba yang telah berevolusi karena
terkena penyakit gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali (“kepala
kecil”). Penemuan –penemuan tersebut menambah pengetahuan terutama di bidang
ilmu sejarah sekarang ini.
0 komentar: