ASAL MULA MANUSIA PURBA

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Penemuan - penemuan fosil di dunia banyak disumbang oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan wilayah tropis dan mempunyai iklim yang cocok di huni manusia kala itu. Penemuan –penemuan fosil sangat berguna bagi perkembangan ilmu sejarah sekarang ini. Baik dalam hal menjelaskan kehidupan manusia kala itu,. Hewan yang pernah hidup dan bagaimana evolusi manusia hingga menjadi sekarang ini. Indonesia banyak menyumbang fosil manusia –manusia purba. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan perkembangan manusia purba dari mulai bagaimana menemukannya,cirri-ciri dari manusia purba dan tempat ditemukanya,sampai evolusi manusia mulai dari pertama kali muncul hingga menjadi manusia sekarang ini.
Dilihat dari hasil penemuan di Indonesia maka dapat dipastikan Indonesia mempunyai banyak sejarah peradapan manusia mulai saat manusia hidup. Dengan begitu ilmu sejarah akan terus berkembang sejalan dengan fosil- fosil yang ditemukan. Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih jelas dan terperinci mengenai fosil- fosil manusia purba yang ditemuakan di Indonesia. Penemuan –penemuan terbaru juga termasuk di dalamnya. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui perkembangan fosil terbaru yang ditemukan seperti Homo Moernman. Dijelaskan pula tempat penemuan dan bentuk penemuannya agar isi makalah ini dapat dipercaya kebenaranya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Perkembangan Fosil Manusia Purba di Indonesia
Penemuan manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat yang diyakini terdapat fosil-fosil manusia purba. penggalian dilakukan dengan teknik arkeologi agar fosi tidak mengalami kerusakan. setelah digali, maka fosil akan dibersihkan dengan bahan-bahan kimia tertentu, agar unsur-unsurnya tdk mengalami kerusakan. Langkah selanjutnya adalah merekonstruksi / menyusun lagi fosil-fosil seprti pada saat ditemukan.
Penelitian ilmiah mengenai fosil dimulai pada akhir abad ke-19. Penelitian Paleoantropologi manusia purba di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu 1889-1909, 1931-1941, dan 1952 hingga sekarang.
Eugone Dubois menduga bahwa manusia purba pasti hidup di daerah tropis. Menurutnya, hal ini disebabkan perubahan iklim sepanjang sejarah tidak banyak dan di daerah tropis pula monyet serta kera masih banyak yang hidup. Ketika datang ke Indonesia, Eugone Dubois mulai menyelidiki gua-gua di Sumatera Barat. Namun, hanya tulang-tulang subresen yang ditemukan.
Penemuan Eugena Dubois : Dia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten yang menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung.yang menyebabkan Dubois memindahkan kegiatan penelitiannya ke daerah Jawa.  Fosil kiriman itu dinamai Homo Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju). homo sapiens dengan isi volum otak kira-kira 1450 cm kubik hidup sekitar 15.000 hingga 150.000 tahun yang lalu. Temuan Dubois pertama, 1889, berupa fosil atap tengkorak Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia, Erectus berjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi, , tahun 1891. Volume otak Pithecanthropus erectus diperkirakan sekitar 770 - 1000 cm kubik. Bagian tulang-belulang fosil manusia purba yang ditemukan tersebut adalah tulang rahang, beberapa gigi, serta sebagian tulang tengkorak.Temuan lainnya adalah Pithecanthropus Mojokertensis, ditemukan di daerah Mojokerto dan Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di daerah Solo.
Penemuan Selenka dan Tim : Pada 1907-1908, Selenka dan regunya melakukan penyelidikan dan penggalian di Trinil. Namun, penggalian tersebut tidak membuahkan hasil fosil manusia purba. Yang ditemukan berupa fosil hewan dan tumbuhan yang dapat menambah referensi mengenai kehidupan manusia Pithecanthropus Erectus.
Penemuan Ter Haar dan Tim : Antara 1931-1933, Ter Haar dan Oppenoorth melakukan pencarian di Ngandong, Blora. Dari hasil pencarian, didapat penemuan yang sangat penting berupa tengkorak dan tulang kering Pithecantropus Erectus. Satu seri tulang tengkorak yang besar jumlahnya dalam masa pendek dan berada di satu tempat yang tidak begitu luas.
Penemuan Tjokrohandojo : Pada 1926, Tjokrohandojo yang bekerja di bawah pimpinan Duyfjes menemukan fosil manusia purba anak-anak di daerah Perning, sebelah utara Mojokerto. Penemuan ini adalah pertama kali ditemukannya fosil tengkorak anak-anak di lapisan bawah Pleistosen Bawah.
Penemuan Von Koenigswald : Antara 1936-1941, Von Koenigswald menemukan fosil-fosil rahang, gigi, dan tengkorak Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus juga fosil hewan di daerah Sangiran, Surakarta. Penemuan ini terjadi di lapisan Pleistosen Tengah maupun Pleistosen Bawah pada satu tempat dan memperlihatkan adanya variasi morfologis. Perbedaan variasi tersebut, menurut para ahli, memiliki perbedaan pada tingkat rasial, spesies, maupun genus. Yaitu, varian-varian yang berasal dari masa lalu. Penemuan lain Fosil tengkorak di Ngandong, Blora. Tahun 1936, ditemukan tengkorak anak di Perning berusia 5 tahun, Mojokerto. . Homo Sapien Soloensis (Homo Soloensis), ditemukan oleh Von Koenigswald dan Weidenreich di tempat-tempat antara lain : Ngandong Blora, Sangiran dan Sampung macan (Sragen), lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 – 1934.
 Penemuan lain tentang manusia Purba ditemukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).
Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang aliran Bengawan Solo.
Semua hasil penemuan fosil-fosil manusia purba pada tahap pertama disimpan di Leiden dan temuan tahap kedua disimpan di Frankfurt (Jerman Barat). Akibat adanya Perang Dunia II, pencarian Paleontropologi tertunda. Tahap ketiga baru dimulai setelah Indonesia merdeka dan penemuan yang didapat disimpan di negara tempat fosil tersebut ditemukan, Indonesia.
B.     Jenis dan Ciri fosil manusia purba Indonesia dari yang tertua :
Jenis fosil manusia purba di Indoesia :
 Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran). Pithecanthropus Robustus (Trinil). Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus) (Trinil). Pithecanthropus Dubius (Jetis). Pithecanthropus Mojokertensis (Perning). Homo Javanensis (Sambung Macan). Homo Soloensis (Ngandong). Homo Sapiens Archaic. Homo Sapiens Neandertahlman Asia. Homo Sapiens Wajakensis (Tulungagung). Homo Modernman.
Ciri-ciri manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
1.         Ciri Meganthropus :
·           Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
·           Badannya tegak
·           Hidup mengumpulkan makanan
·           Makanannya tumbuhan
·           Rahangnya kuat
·           Tulang pipi tebal
·           Terdapat tonjolan kening yang mencolok
·           Tonjolan belakang yang tajam.
·           Tidak memiliki dagu.
2.         Ciri Pithecanthropus :
·           Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
·           Hidup berkelompok
·           Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
·           Mengumpulkan makanan dan berburu
·           Makanannya daging dan tumbuhan
·           Tinggi badan sekitar 165 -180 cm
·           Volume otak 750- 1350 cc
·           Bentuk tubuh dan anggota badan tegap
·           Alat pengunyah dan alat tengkuk sangat kuat
·           Bentuk graham besar dengan rahang yang sangat kuat
·           Bentuk tonjolan kening tebal
·           Bentuk hidung tebal
·            Bagian belakang kepala tampak menonjol
3.         Ciri jenis Homo :
·           Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
·           Muka dan hidung lebar
·           Dahi masih menonjol
·           Tarap kehidupannya lebih maju dibanding manusia sebelumnya
C.     Pembagian Jaman kehidupan Awal Manusia
Zaman dimana adanya kehidupan manusia sehingga merupakan zaman terpenting. Dan zaman ini dibagi lagi menjadi dua zaman yaitu yang disebut dengan zaman Pleistocen dan Holocen atau Alluvium dan Dilluvium adalah pembagian zaman menurut Ilmu Geologi. Jaman ini terdapat pada Zaman Neozoikum.
Jaman ini dibagi menjadi jaman tersier dan kuartier.Jaman tersier berlangsung sekitar 60 juta tahun,binatang yang berkembang adalah mamalia/binatang menyusui.Jaman kuartier adalah yang terpenting karena jaman ini dimulai adanya kehidupan manusia.Dan jaman kuartier masih dibagi lagi ke dalam jaman Pleistosen dan Holosen.Jaman Pleistosen(Dilluvium) berlangsung kira-kira 3 juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu.Jaman Pleistosen dimulai dengan meluasnya lapisan es di kedua kutub bumi yang disebut jaman glasial,kemudian diselingi dengan jaman mencairnya lapisan es disebut dengan jaman interglasial,keadaan ini berlangsung silih berganti sampai empat kali.Kalau di daerah tropis jaman glasial berupa jaman hujan(jaman pluvial),dan diselingi dengan jaman kering(interpluvial).Pada jaman glasial,permukaan air laut turun dengan drastis,sehingga banyak dasar laut yang kering menjadi daratan.Di Indonesia dasar laut yang kering di sebelah barat disebut dengan dataran Sunda,dan menyebabkan kepulauan Indonesia bagian barat menjadi satu dengan benua Asia,sedangkan yang di sebelah timur disebut dengan dataran Sahul,dan menyebabkan kepulauan Indonesia di sebelah timur menyatu dengan benua Australia.Sehingga ini semua mempengaruhi jenis flora-faunanya juga.Manusia yang hidup di jaman Pleistosen adalah jenis Homo erectus.Jaman Pleistosen berakhir kira-kira 10 ribu tahun sebelum Masehi.Kemudian diikuti datangnya jaman Holosen(Alluvium) yang masih berlangsung hingga sekarang.Dan jaman ini muncul manusia jenis Homo sapiens,yang diduga menjadi nenek moyang manusia sekarang.
Pembagian lapisan Dilluvium menurut V. Koeningswalds ada tiga :
1.    Pleistosen Bawah / Lapisan Jetis ( 20 juta – 15 juta tahun yang lalu)di lapisan ini ditemukan fosil manusia purba Meganthropus PaleoJavanicus oleh   V. Koeningswald. Selain itu juga ditemukan fosil Pithecantropus Mojokertensis dan Pithecantropus Robustus
2.    Pleistosen Tengah / Lapisan Trinil ( 1,5 juta – 500.000 tahun yang lalu)ditemukan fosil manusia purba Pithecantropus/Homo Erectus dan Pithecanthropus Robustus.
3.     Pleistosen Atas/Lapisan Ngandong ( 100.000 – 50.000 tahun yang lalu)ditemukan fosil manusia purba Homo Soloensi ( Homo Sapiens Soloensis ) dan Homo Wajakensis ( Homo Sapiens Wajakensis)
D.     Homo Florensiesis, Manusia Purba Kerdil dari Flores
Rentang fosil         : Pleistosen Akhir                        
Klasifikasi ilmia
Kerajaan                 : Animalia                   Filum                   : Chordata
Kelas                      : Mammalia                 Ordo                    : Primates
Famili                     : Hominidae                Genus                  : Homo
Spesies                   : H. floresiensis           Nama binomial    : Homo floresiensis
Homo floresiensis (“Manusia Flores“, dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001. Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur paling tinggi sepinggang manusia moderen (sekitar 100 cm).
Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen menggunakan berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi kerangka yang tidak memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya. Usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.
1)      Penemuan
a.       Liang Bua, tempat ditemukannya seri fosil H. floresiensis.
Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.
Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional (dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England. Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil) tetapi rapuh dan lembab. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan, dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.
2)      Ciri-ciri Kontroversi
Salinan tengkorak H. floresiensis “LB1″ dibandingkan dengan tengkorak manusia yang terkena mikrosefali yang pernah hidup di Pulau Kreta.
Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali (“kepala kecil”). Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.
Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat 2007), lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.
Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal.
Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari H. sapiens normal maupun patologis karena mikrosefali. Hasil analisis kladistika dan statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali, beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance. Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H. floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
3)       Perbandingan tengkorak Homo Floresiensis dengan Homo Sapiens
Hobbit Flores, Species Baru Hominin. Homo floresiensis, sering disebut juga dengan hobbit Flores, masih terus berlangsung. Selama ini ada dua arus pendapat. Pertama, yang menganggap Homo floresiensis sebagai spesies baru dari hominin, sering disebut Hobbit, pendapat ini dimotori oleh para peneliti dari Australia, seperti antropolog Peter Brown, Michael Morwood, dan para koleganya. Pendapat kedua mengatakan, Homo floresiensis bukan merupakan spesies baru, tetapi merupakan bagian dari spesies manusia modern dari bangsa Homo erectus yang menderita sindroma kekerdilan dan penyakit microchepaly, –penyakit yang menyebabkan pengerdilan volume otak dan ukuran tubuh, pendapat ini dimotori Profesor Teuku Jacob dan para koleganya dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dengan menggunakan metode penelitian analisa statistik terhadap kerangka fosil yang ditemukan, para peneliti meyakini Homo floresiensis merupakan sebuah spesies baru dari manusia kuno, atau hobbit, yang bertubuh mini, dan bukan versi manusia modern yang terkena penyakit sehingga tubuhnya menjadi kerdil dan kemudian diturunkan secara genetis. Sehingga Homo floresiensis merupakan generasi manusia yang belum sempurna jika dibandingkan dengan generasi Homo erectus, dan generasi manusia sempurna Homo sapiens yang kini mendiami bumi. Detail lengkap dari hasil penelitian ini baru akan dipublikasikan dalam Jurnal Significance, terbitan Royal Statistical Society, pada edisi bulan Desember mendatang. Fosil Homo florensiensis pertama kali ditemukan pada tahun 2003 oleh sekelompok peneliti Australia dan Indonesia, di Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.
Dari hasil rekonstruksi diketahui fosil ini merupakan kerangka dari manusia yang memiliki tubuh mini, volume otak kecil, dan mirip dengan hominin, yaitu bangsa manusia kuno. Dari uji karbon terhadap fosil temuan, spesies ini diperkirakan hidup di Flores sekitar 18.000 tahun yang lalu. Jika Anda menonton seri film Lord of The Ring, manusia hominin ini disebut dengan hobbit yang bertubuh kecil. Para peneliti dari Universitas Medis Stony Brook yang dipimpin William Jungers dan Karen Baad melakukan penelitian terhadap kerangka fosil Homo floresiensis berjenis kelamin perempuan yang diberi code LB1 dan diberi nama penelitian ‘Little Lady of Flores’ atau ‘Flo’, menyimpulkan fosil itu merupakan spesies hasil evolusi hobbit. Penelitian meliputi fosil bagian tengkorak, rahang, telapak tangan, kaki, dan telapak kaki, yang dibandingkan dengan ukuran fosil-fosil manusia temuan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan, kapasitas otak LB1 diperkirakan hanya sekitar 400 cm saja, yang sebanding dengan ukuran otak Simpanse atau Siamang berkaki dua di Afrika. Ukuran tengkorak dan tulang rahang Homo floresiensis, juga lebih primitif dari ukuran fosil manusia modern normal yang ditemukan daerah dimanapun.
Temuan fosil Homo floresiensis relatif lengkap, sehingga para ilmuwan dapat melakukan rekonstruksi sosoknya, yang dapat dibandingkan dengan sosok manusia modern. Tulang paha dan tulang betisnya jauh lebih pendek daripada yang dimiliki manusia modern, bahkan jika dibandingkan dengan temuan fosil manusia kerdil serupa di Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan manusia kerdil negritto di Kepulauan Andaman dan Filipina. Sehingga para peneliti berspekulasi ini merupakan bagian dari sebuah rantai evolusi dari bangsa hominid, yang menyebar di berbagai lokasi dunia pada masa lalu. “Sulit dipercaya proses evolusi dipengaruhi juga dengan kemampuan gerak agar lebih ekonomis, “spesies ini mengembangkan paha dan kaki yang lebih pendek, agar dapat berjalan kaki lebih baik dan efektif pada waktu itu.”
Analisis statistik dari Jungers dengan persamaan regresi yang dia kembangkan, menunjukkan rata-rata tinggi Homo floresiensis sekitar 106 cm, jauh lebih pendek dari rata-rata tinggi manusia modern kerdil yang rata-rata memiliki tinggi 150 cm. Rekonstruksi menunjukkan sosok fisik LB1, juga jauh berbeda dengan umumnya orang kerdil serupa yang ditemukan di Asia Tenggara maupun Afrika, baik pada tinggi maupun ukuran tubuh.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN  :
Penemuan manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat yang diyakini terdapat fosil-fosil manusia purba. Di Negara Indonesia sendiri telah banyak ditemuakan berbagai macam fosil manusia purba seperti di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Fosil –fosil tersebut terbagi atas tiga jenis yaitu Megantruphus, pithechantripus, dan Homo dengan berbagai macam subjenis. Di daerah Nusa Tenggara ditemukan pula jenis baru manusia purba yang telah berevolusi karena terkena penyakit gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali (“kepala kecil”). Penemuan –penemuan tersebut menambah pengetahuan terutama di bidang ilmu sejarah sekarang ini.

0 komentar: